Kamis, 12 April 2012

NEVER SAY GOOD BYE part 4




Sempat aku berfikir untuk meminta bantuan lutfi, tapi.. apakah lutfi akan membantuku? Atau malah memakiku...

huwaaa dilema.. tapi akhirnya aku memberanikan diri mencoba, dan pergi kekelas nya untuk meminta bantuannya.
“lutfi..”
“ratih? Ada apa? Tumben sekali kau datang kekelasku?” katanya terkejut sambil menaruh buku yang sedang ia baca.
“ anu.. aku ingin minta tolong..” pintaku.
“hem.. apa yang bisa aku bantu?” katanya.
“ tolong kirimkan ini kekantor pos, aku tidak bisa karena harus menghadiri pemotretan album kenangan.”
“apa ini?”
“ na..naskah novel, deadline nya sekarang.. jika kau keberatan tak apa biar kusuruh orang lain saja..”
“ hem oke sini “
“ he? Apa? Ehm makasih ya fi” kataku sambil memeluknya karena saking senangnya.
Masalahnya ini seorang lutfi yang selama ini tidak pernah mendukungku, tapi malah menolongku disaat genting seperti ini.
            Pukul 05:00 pm aku selesai pemotretan. Saat ingin mengambil tas dikelas aku melihat lutfi menungguku didepan kelas. Dan yang membuat ku terkejut ditangannya masih ada amplop naskah yang tadi siang ku beri.
“maaf yah” katanya sambil memberikan naskah itu. Aku hanya memandanginya dengan tatapan kecewa.
“ tadi aku diajak belajar matematika, lalu aku lupa.. maaf ya, bukannya masih dikirim nanti nanti?” jelasnya.
“ kau tahu kan hari ini deadline nya? Kau tahu kan aku sudah mati matian mengerjakan itu? Tapi mengapa kau berbicara seperti itu ?!” kataku agak membentak.
“ hei ! jangan bicara yang tidak tidak, kamu bukan anak kecil lagi, jangan macam macam dong ! yang realistis… buka matamu lebar lebar. Kan masih banya urusan lain yang jauh lebih penting yang harus diselesaikan sebelum impian kita tercapai..”
“ lutfi!! Aku tidak suka kau berbicara seperti itu!”  kataku lalu pergi meninggalkannya. Aku berlari dan terus berlari, tanpa sadar aku sudah berada di lapangan tempat pertama kali bertemu rio. Disana aku melihat rio sedang duduk dipinggir lapangan,aku langsung menghampirinya dan menangis sejadi jadinya.
“ loh tih ? kamu kenapa?” Tanya rio terkejut.
“ pa..padahal.. padahal aku begitu mencintainya, tapi kenapa sekarang terasa begitu sulit??” jawabku sambil menangis di pelukannya.
“ lutfi??” tanyanya lagi. Aku hanya bisa menangis dan terus menangis dalam pelukannya. Sejak kapan lutfi berbicara kasar seperti itu? Pertanyaan itu yang selalu membayang bayangi benakku. Selagi aku terlarut dalam kekecewaan terdengar suara yang tidak asing lagi bagiku memanggilku.

“ratih..”
“lutfi ?! “
“maaf tadi aku memang keterlaluan. Aku memang kelewat batas.. maaf tih.. ayo pulang bersamaku kita bicarakan dlm perjalanan..” kata lutfi meraih tanganku.
“ jangan mau ratih! Nanti sifat egoisnya muncul lagi, nanti kau akan tersakiti lagi!” kata rio  sambil melepaskan genggaman tanganku dari lutfi.
“ apa katamu ?! memangnya kau siapa?!” bentak lutfi.
“ SUDAH! CUKUP! Berikan aku waktu untuk berfikir fi. Kau pulanglah duluan.” Kataku tanpa menatap wajahnya. Aku tahu dia sangat terkejut dengan jawabanku. Aku tahu.. oleh karena itu aku tak mau melihat wajahnya . Setelah lutfi pergi rio mengajakku ke kamarnya. Rio mempersilahkanku duduk dan menyajikan teh hangat.
“aku sejak dulu mencintai lutfi, ingin menjadi wanita idamannya. Waktu itu aku kira benar benar menyenangkan. Tapi sekarang..” kataku sambil menangis lagi.
“ sudah sudah, kau tak cocok menangis tih” kata rio sambil menghapus airmataku.
“ senyum ya tih, sini kutunjukkan cincin saturnus.” Kata rio sambil mengajakku mendekati teropong.
“wah.. indahnya.. rio apakah ada tempat lain seindah angkasa raya?” tanyaku, tapi rio hanya tersenyum dan memelukku.
“rio..” kataku lagi.
“ apa kau benar benar mencintainya? Bukankah dia sama sekali tak pernah mengerti dirimu?” kata rio.
“ hentikan, itu sangat menyakitkan..”
“ apa.. kau tak mungkin mencintaiku?”
            Aku terkejut dengan perkataan rio, dan aku langsung melepaskan diri dari pelukannya. Tapi dia tetap menggenggam erat tanganku.
“mengapa? Kau tahukan aku dengan lutfi… apa kau memanfaatkan keadaan ini?” kataku terkejut.
“tidak.. bukan begitu.. tak ada hubungannya sama sekali dengan keadaan ini.. aku benar benar mencintaimu.. sejak pertama kali bertemu aku tak bisa menapik dirimu dari pikiranku.. tiih aku sayang kamu..” katanya sambil menarik tubuhku dalam pelukannya, hampir saja ia menciumku tapi aku segera melepaskan diri darinya.
“ lepaskan! Aku pulang!”

            Aku pulang dengan perasaan yang campur aduk. Aku piker dia berbeda tapi sama saja, hanya memikirkan perasaannya sendiri. Aku sebaiknya tak berkunjung lagi kesana. Ya.. itu yang terbaik, daripada nanti saling menyakiti, semua ini sungguh sudah tidak masik diakal !!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar